BERKUNJUNG ke Pulo Aceh, sempatkan untuk menjajaki Mercusuar Willem Toren III yang letaknya di ujung Pulo Breuh (Pulau Beras).
Dari puncak menara ini bisa menikmati keindahan panorama ujung
paling barat Indonesia. Willem Toren yang berada di balik hutan Gampong
Meulingge, Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar, merupakan
tower peninggalan
Pemerintah Belanda yang dibangun 1875. Mercusuar ini mengadopsi nama
Raja Luxemburg kala itu, Willem Alexander Paul Frederik Lodewijk (Raja
Willem III).
Menara bundar setinggi 85 meter ini kabarnya hanya ada tiga
di dunia. Selain di Pulo Aceh, tower serupa juga ada di Belanda dan
Kepulauan Karibia. Namun yang di Belanda sudah difungsikan sebagai
museum, sementara dua lainnya masih aktif.
Perjalanan menuju Willem Toren Pulo Aceh cukup menantang. Jalur utama ke sana dari depan SD Negeri Meulingge.
Ada sepotong jalan yang membelah hutan hingga ke tower.
Jalannya mulai menyempit tertutup belukar, penuh tanjakan juga turunan.
Bertabur lubang bekas kubangan dan batu cadas.
Saat kami bertandang ke Pulo Breuh
cuacanya cerah, sehingga memungkin untuk mendaki dengan sepeda motor
ke ujung pulau tempat menara berdiri. Jarak tempuhnya kurang dari satu
jam.
Berulang
kali motor kami terperosok ke lubang bekas kubangan dan tersandung
batu. Butuh konsentrasi ekstra terutama saat di turunan, karena
salah-salah bisa meluncur ke jurang. “Turunnya harus pakai gigi satu,”
kata Husaini, pemuda setempat yang memandu kami.
Perjalanan melelahkan akhirnya terbayar dengan keindahan
alam di komplek Willem Toren. Setelah melewati gapura, terdapat beberapa
bangunan peninggalan Belanda yang sedang direhab.
Di ujungnya berdiri kokoh tower raksasa merah putih
menjulang tinggi dengan ketebalan dinding betonnya mencapai satu meter.
Inilah Willem Toren.
Begitu mendapat izin dari petugas di sana, kami langsung
masuk ke dalam menginjak ratusan anak tangga menuju puncak menara. Pada
dindingnya terdapat beberapa jendela dilapisi kaca tebal.
Lelah
menaiki tangga seketika hilang saat berada di pucuk menara. Pemandangan
indah tersaji dari balik ruangan kaca yang di dalamnya terpasang
sebuah lampu sorot raksasa yang bisa berputar-putar.
Lampu ini akan menyala di malam hari, menembakkan cahaya
hingga ke parairan international Samudera Hindia dan pintu masuk Selat
Malaka. Fungsinya sebagai pengatur lalu lintas laut yang sering
dilintasi kapal-kapal besar.
“Lampu ini memberikan kode ke tengah laut,” ujar Erlando, petugas navigasi dan penjaga Willem Toren Pulo Aceh.
Di luar
ruangan kaca ada teras bundar di keliling pagar besi, tempat paling
asik menikmati hembusan angin laut yang menenangkan, dan panorama Pulo
Aceh nan memanjakan mata.
Laut biru kehijau-hijauan tampak terhampar hingga ke kaki
langit, berpendar-pendar disengat matahari. Pulau-pulau kecil seperti
mengapung di Samudera Hindia. Menoleh ke bawah ada daratan berselimut
pohon menjurus ke laut. Ombak bergumul dengan karang memunculkan buih
putih.
Menghadap ke utara terlihat Pulau Weh, Sabang memanjang
biru di seberang lautan, di atasnya awan putih meriak. Dari kejauhan
juga terlihat Rondo, pulau terluar di Indonesia yang tanpa penghuni tapi
dijaga TNI Angkatan Laut serta petugas navigasi kelautan.
Menatap ke
sisi selatan tersaji hamparan bukit hijau yang menjorok ke laut. Buih
putih meriak indah di bebatuan pada kaki daratan. Air jernih yang
melandai di pinggiran memunculkan perpaduan toska dan kehijau-hijauan
dari pasir putih serta karang yang terendam.
Di bagian timur terlihat beberapa bangunan peninggalan
Belanda memanjang, kemudian bebukitan hijau serta ujung daratan yang
menjorok kelaut. Sungguh pemandangan yang eksotik.